DISINFORMASI

Beredar sebuah unggahan di media sosial Twitter yang mengklaim bahwa vaksin Covid-19 Pfizer telah membunuh 20 juta orang di seluruh dunia, mengutip laporan rahasia milik perusahaan Pfizer dan Pemerintah.

PENJELASAN

Berdasarkan hasil penelusuran, dilaporkan dari laman berita cekfakta.tempo.com (22/02/2023) bahwa tidak ada laporan kredibel, baik dari jurnal ilmiah maupun otoritas kesehatan dunia tentang kematian 20 juta orang karena vaksin. Sebaliknya, sebuah studi terbaru justru mengungkap bahwa vaksin Covid-19 justru berhasil menyelamatkan jiwa 20 juta orang pada tahun pertama pandemi.

Dikutip dari The Guardian theguardian.com (24/06/2022), bahwa terdapat studi yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Infectious Diseases yang memodelkan penyebaran penyakit Covid-19 di 185 negara dan wilayah antara Desember 2020 dan Desember 2021. Hasil penelitian menunjukkan tanpa vaksin Covid-19, diperkirakan 31,4 juta orang akan meninggal. Namun karena vaksin, sebanyak 19,8 juta dari kematian tersebut dapat dicegah.

Studi tersebut merupakan upaya pertama untuk mengukur jumlah kematian yang dicegah secara langsung dan tidak langsung akibat vaksinasi Covid-19. Bahkan, lebih banyak kematian dapat dicegah jika akses vaksinasi lebih merata di seluruh dunia.

Selain itu, studi tersebut menjelaskan, hampir 600.000 kematian tambahan dapat dicegah seandainya target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk memvaksinasi 40% populasi setiap negara pada akhir tahun 2021 terpenuhi. 

KESIMPULAN

Informasi bererdar tentang vaksin Covid-19 Pfizer telah membunuh 20 juta orang di seluruh dunia, tidak dapat diverifikasi benar. Faktanya, studi terbaru dalam jurnal Lancet Infectious Diseases justru mengungkap bahwa vaksin Covid-19 diperkirakan berhasil menyelamatkan 20 juta orang pada setahun pertama pandemi.

SUMBER FAKTA:

1. 1. https://cekfakta.tempo.co/fakta/2166/menyesatkan-klaim-vaksin-covid-19-pfizer-membunuh-20-juta-orang

2. 2. https://www.theguardian.com/world/2022/jun/24/covid-vaccines-cut-global-death-toll-20m-first-year-study