DILEMA MARAKNYA PERUNDUNGAN DIGITAL DI TENGAH MASYARAKAT PALING RAMAH DI DUNIA
Share :Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan masyarakat yang paling ramah di dunia. Itulah penilaian dari Charity Aid Foundation yang membuat kita tersenyum. Karena bisa mengukir prestasi membanggakan di tengah banyaknya problematika kehidupan digital nasional, seperti perundungan, penipuan, hingga peretasan.
Penilaian dari lembaga Charity Aid Foundation (CAF) sudah dilakukan beberapa kali, yang secara garis besar dilakukan untuk melihat tingkat solidaritas dan kepedulian masyarakat di berbagai negara. Mulanya, penilaian ini dilakukan untuk melihat respons masyarakat di tengah krisis keuangan dunia dan kini kembali menjadi perhatian karena krisis Covid-19.
Dengan nama World Giving Index, melansir dari cafonline.org, CAF memiliki beberapa indikator untuk melihat seberapa ramah masyarakat di sebuah negara, yaitu: (i) Intensitas menolong orang asing, (ii) Keterlibatan dalam kegiatan amal, dan (iii) Peran aktif menjadi relawan sebuah organisasi.
Pada rilis penilaian terbaru di tahun 2021, ditemukan fakta bahwa 65 persen orang Indonesia pernah menolong orang asing, 83 persen orang Indonesia aktif menyumbang dan terlibat dalam kegiatan amal, dan 60 persen orang Indonesia turut menjadi relawan sebuah kegiatan atau organisasi.
Penilaian pada Indonesia tersebut menempatkan negara kita berada di posisi ke-1 dari 114 negara yang dinilai. Sebuah prestasi yang sangat membanggakan, khususnya di tengah pandemi Covid-19.
Ada beberapa faktor yang mendorong tingginya nilai yang diperoleh Indonesia. Faktor sosial dan tradisional seperti zakat, gotong-royong, dan peran pemerintah. Namun ada fakta menarik yaitu peran dari transformasi digital dan media sosial yang menjadi pendorong lebih dari ramahnya masyarakat Indonesia.
Melansir dari Filantropi.or.id (04/02/2021), nilai donasi masyarakat melalui platform daring di Indonesia meningkat sebesar 72 persen sepanjang pandemi. Hal demikian didorong oleh banyaknya kampanye penggalangan dana yang ditujukan bagi komunitas terdampak Covid-19. Hasilnya, mayoritas masyarakat kita terketuk hatinya untuk turut menyumbang, tentu atas nama solidaritas bangsa.
Kita tentu banyak melihat platform crowdfunding populer di Indonesia. Kitabisa.com dan ayopeduli.id menjadi contoh dari menjamurnya upaya penggalangan dana di Indonesia yang dilakukan secara daring. Hal demikian menjadi bukti bahwa kemajuan digital di Indonesia sudah teroptimalisasi dengan baik untuk menolong sesama.
Kemudian peran dari media sosial seperti aktifnya para influencer untuk turut serta mengkampanyekan berbagai kegiatan amal. Melansir dari Kompas (25/03/2020), kala itu influencer Rachel Vennya menggunakan akun Instagramnya berhasil menggalang dana hingga Rp 7 miliar dalam waktu kurang dari seminggu pada tahun 2020. Hasil penggalangan dana tersebut didonasikan untuk penanganan Covid-19 di tanah air.
Fenomena demikian memberikan bukti bahwa influencer memegang peran yang begitu signifikan dalam keseluruhan aktivitas penggalangan dana di Indonesia. Sekaligus menjadi cerminan keramahan masyarakat Indonesia secara umum. Aspek lain yang bisa dikupas dari fenomena tersebut adalah keterlibatan generasi muda yang mulai tertarik menjadi seorang filantropis. Melihat data dari CAF, generasi muda dengan rentang usia 24-39 tahun kini menjadi kelompok yang paling sering berdonasi dibandingkan usia lainnya.
Masifnya kegiatan donasi digital dan mahkota sebagai negara paling ramah di dunia memang membanggakan. Namun, di balik hal tersebut ada hal kelam di dunia digital nasional yang selayaknya menjadi perhatian kita semua, yaitu perundungan digital.
Melansir dari VOA Indonesia (17/09/2021) hasil penelitian dari Centre for Digital Science Universitas Gadjahmada (CfDS UGM) dengan Centre for Lifespan and Development (CLSD) menunjukkan adanya tren perundungan digital yang terjadi di masyarakat Indonesia, yang mirisnya terjadi pada generasi muda. Hasil penelitian tersebut membuktikan sebanyak 45,35% generasi muda bangsa adalah korban dari perundungan digital. Sebanyak 65 persen di antaranya adalah siswa SMP berusia 13-15 tahun. Mereka mengalami perundungan secara digital melalui tiga platform, yaitu WhatsApp, Instagram, dan Facebook.
Penelitian tersebut turut mengklasifikasikan jenis-jenis perundungan digital yang lumrah ditemukan, yaitu; (i) Exclusion, berupa tindakan pengucilan, (ii) Denigration, berupa perilaku pencemaran nama baik dan fitnah, dan (iii) Harassment, meneror dan berkomentar kasar di media sosial.
Saat diklasifikasikan berdasarkan gender, pelaku perundungan perempuan mengaku sering melakukan denigration, dan pelaku perundungan laki-laki cenderung melakukan harassment dan exclusion.
Semua tindakan perundungan digital atau cyber bullying tersebut adalah salah dan tidak bisa dibenarkan. Akan menjadi sangat miris jika perilaku tercela yang dilakukan generasi muda tersebut terus terpelihara. Tentu dibutuhkan tindakan koreksi, guna meluruskan hal yang berpotensi merusak reputasi bangsa dan degradasi moral.
Temuan fakta perundungan digital tentu merusak angin segar yang baru saja kita dapatkan sebagai negara yang paling ramah di dunia.
Ini menjadi dilema yang harus dikoreksi bersama. Jangan sampai tren demikian merambah dan mentransformasikan negara kita dari yang paling ramah menjadi paling tercela. Kekeliruan dalam menggunakan perangkat digital demikian tentu harus diperbaiki secara bersama.
Penulis: Julian Savero Putra Soediro
Penyunting: Metha Silvia Ningrum dan Harry Sanjaya