ETIKA DIGITAL NASIONAL YANG MEMPRIHATINKAN

Share :        
Senin, 19 Sep 2022

Beberapa dasawarsa lalu, bangsa Indonesia selalu dinilai sebagai masyarakat yang paling sopan di dunia. Berbagai turis yang melancong ke bumi pertiwi bercerita bahwa mereka selalu disambut dengan senyuman. Namun, kesopanan yang didapatkan dari interaksi secara langsung tersebut berubah 180° saat masyarakat Indonesia mulai menyerbu dunia digital. Bukan prestasi yang membanggakan, justru sebuah rekor buruk yang tersemat pada warganet Indonesia.

Tahun lalu kita dikejutkan dengan berbagai headline berita “Indonesia Menjadi Netizen Paling Tidak Sopan di Dunia.” Akhirnya, kita menorehkan prestasi di tengah pandemi. Tapi bukan sebuah prestasi yang layak diumbar, melainkan menjadi aib yang harus menjadi koreksi bersama.

Melalui laporannya, Microsoft merilis Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet di sebuah negara. Survei tersebut dilakukan pada April hingga Mei tahun 2020 yang melibatkan 32 negara di seluruh dunia. Negara yang didaulat sebagai masyarakat yang paling tidak sopan di dunia digital adalah Afrika Selatan. Jika dikomparasi, kita bisa bernafas lega karena setidaknya tidak menempati posisi buncit.

Beberapa indikator yang menjadi penilaian adalah kecenderungan iklim digital di sebuah negara dalam penyebaran informasi hoaks, ujaran kebencian, diskriminasi, misogini, perundungan siber, hingga trolling atau tindakan yang sengaja untuk memancing amarah.

Menilik kesopanan warganet bumi pertiwi, Indonesia menempati posisi ke-29 dari 32 negara yang dilibatkan dalam survei. Kita menjadi negara yang paling tidak sopan di Asia Tenggara, terlampau jauh jika dibandingkan dengan Singapura yang menempati posisi ke-4 sebagai negara dengan masyarakat digital paling sopan di dunia.

Padahal, dalam pergaulan internasional kita adalah “Natural Born Leader” regional ASEAN, namun dalam konteks pergaulan digital kali ini kita bukanlah leader, kita harus mengakui menjadi medioker dan harus belajar lebih banyak dari Malaysia, Singapura, dan berbagai negara tetangga dalam hal kesopanan berinternet khususnya bermedia sosial.

Selain itu, beberapa tindakan yang berkontribusi pada memburuknya tingkat kesopanan digital warganet adalah: (i) Penyebaran hoaks dan penipuan 47%, (ii) Ujaran kebencian 27%, dan (iii) Diskriminasi 13%. Pada laporan yang sama, diketahui bahwa tindakan perundungan digital naik signifikan sebanyak 5 (lima) poin, sekaligus menjadi tren yang mendominasi iklim digital nasional.

Berbicara generasi, milenial terbukti menjadi sasaran dari perundungan daring. Sebanyak 54% dari responden generasi milenial pernah mengalaminya. Kemudian disusul oleh Gen-Z dengan catatan 47%, Gen-X 39%, serta Baby Boomers 18%.

Mereka menjadi korban dari perundungan digital, sehingga kita bisa mengasumsikan bahwa pelaku perundungan sengatlah banyak. Dari data yang disajikan kita semakin paham bahwa perundungan daring kini menjadi tren. Namun hal demikian sudah seharusnya dicegah, karena perundungan bukanlah perilaku yang layak dinormalisasi.

Hal yang menjadi keprihatinan bersama adalah etika dan moralitas warganet nasional dalam bermedia sosial. Secara umum, etika menurut Keer Bertens dalam bukunya, Etika (1993) adalah sebuah penilaian kolektif yang tercipta dari konstruksi masyarakat dalam menentukan standar baik dan buruk. Pada praktiknya, kita bisa melihat etika dalam pergaulan sehari-hari.

Konstruksi masyarakat dalam pergaulan konvensional sudah memiliki standar yang sangat baik. Hal tersebut tertuang dalam berbagai norma yang berlaku di masyarakat mulai dari norma kesopanan hingga norma hukum. Setidaknya, kita paham bahwa merundung orang di tempat umum adalah sebuah hal buruk yang secara etis keliru.

Namun, norma demikian terlihat belum tertanam sebagai etika dalam bermedia sosial. Jika kita melihat sebuah isu yang menjadi gaung di media sosial, kita akan melihat adanya ‘serbuan’ warganet Indonesia terhadap target yang dituju di media sosial baik itu individu atau institusi.

Warganet kita seolah memiliki mahkamah kolektif untuk menjustifikasi baik atau buruknya suatu hal. Namun belum memiliki etika kolektif yang sepakat bahwa melakukan penyerbuan hingga merundung satu target tertentu adalah sebuah perbuatan keliru. Term “membela korban” atau ketidaksenangan karena tokoh atau institusi dirugikan menjadi pembelaan untuk berlaku kasar di media sosial.

Mahkamah Media Sosial menjelma menjadi sebuah institusi kolektif dan bahkan memiliki hukuman yang lebih berat dari yang pernah dibayangkan. Tidak hanya menghakimi sesama warganet nasional, bahkan sudah goes international. Beberapa kali kita menemui akun institusi hingga figur global menjadi sasaran empuk amukan, bahkan berujung hingga teror.

Sebagai bangsa yang sedang menuju “digital native” dan menggaungkan Internet of Things (IoT) kita seharusnya terlebih dahulu menerapkan etika sopan santun dalam bermedia sosial. Jika pemahaman akan etika dalam menjalin interaksi digital masih rendah, bukan mustahil Indonesia kelak mendapatkan reputasi buruk dalam pergaulan internasional.

Sebenarnya, menerapkan etika dalam bermedia sosial tidaklah sulit. Kita hanya perlu mengingat bahwa tiap-tiap diri kita adalah “Duta Indonesia” di dunia digital. Tiap komentar pada institusi atau figur di media sosial adalah representasi kolektif bangsa Indonesia. Baik buruknya reputasi negara dalam pergaulan bermedia sosial ada di pundak kita.  

Belum terlambat untuk memperbaiki reputasi buruk tersebut. Semua bisa berawal dari kita yang menjaga jari agar tidak berkomentar buruk di media sosial. Nilai luhur bangsa Indonesia yang dinilai sebagai masyarakat yang sopan harus terjaga, atau bahkan disebarluaskan di dunia digital.

Artikel


Berita