FENOMENA GHOZALI EVERYDAY DAN PENTINGNYA KEAMANAN DIGITAL
Share :Perkembangan dunia digital sungguh tidak dapat diperkirakan. Kali ini, hadirnya sosok Ghozali Everyday membuat kita semakin tergugah akan perkembangan dunia digital, salah satunya adalah Non-Fungible Token (NFT). Siapa yang menduga jika seorang pria asal Semarang yang awalnya sekadar memasang swafoto dirinya di portal pemasaran NFT bisa menjadi miliarder dalam waktu singkat?
Ghozali berhasil menjadi miliarder dengan cara yang belum pernah diduga sebelumnya. Ia berhasil meraup untung hingga Rp. 13 miliar hanya dari penjualan kumpulan foto dirinya selama 5 tahun.
Keberhasilan Ghozali tentu meraih atensi masyarakat luas. Bahkan, tidak sedikit yang mencoba meniru jejak Ghozali untuk meraup untung, yakni dengan memasarkan gambar melalui portal OpenSea.
Fenomena digital seperti ini mengejutkan kita semua. Tidak sedikit dari warganet yang mencoba untuk masuk dalam ranah digital dengan cara yang sama seperti Ghozali. Namun, tanpa disadari aktivitas digital yang dilakukan justru dapat membahayakan diri sendiri, salah satunya dengan menjual arsip digital yang merupakan data pribadi. Bukan tidak mungkin, data tersebut justru bisa menjadi bumerang suatu saat nanti.
Mengenal NFT
Jagat digital menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masa kini dengan perkembangan yang sangat cepat. Beberapa tahun lalu kita awam mendengar tentang “cryptocurrency,” tetapi saat ini term tersebut sudah lumrah terdengar di masyarakat, khususnya bagi pengguna media sosial.
Fenomena Ghozali Everyday justru membuat perkembangan dunia digital nasional terakselerasi. Pada 2014, saat NFT pertama kali diperkenalkan, hanya sedikit dari kita yang terbiasa mendengar term tersebut. Kehadiran Ghozali berhasil mendobrak ketidaktahuan kita akan NFT.
Secara sederhana, NFT dikenal sebagai bagian dari jaringan blockchain yang memberi kesempatan seseorang untuk bertransaksi secara digital. Konkretnya, produk NFT dapat berupa berbagai karya yang diperjual-belikan secara daring. Mulai dari lukisan, foto, dan musik adalah berkas digital yang bisa dikategorikan sebagai NFT.
Karena NFT tidak bersifat transaksional seperti bitcoin, maka nilai dari token tersebut tersisip dalam karya digital yang diunggah dalam pasar digital. Nantinya, penjual bisa mencantumkan harga dari karya tersebut sesuai dengan nominal dari NFT yang ditentukan. Aspek orisinalitas, keunikan karya, hingga sang seniman itu sendiri bisa menjadi nilai tambah yang menentukan harga dari karya NFT.
Penjualan NFT mencatatkan rekor tertinggi pada perhitungan akhir tahun 2021 lalu, yaitu mencapai US$ 10 miliar, yang jika dirupiahkan mencapai Rp. 143 triliun. Tentunya, angka ini sangat menggiurkan dan membuat siapa pun ingin terjun ke dunia NFT.
Peran NFT dan Perlunya Kesadaran Berdigital
Sangat disayangkan, saat hype Ghozali Everyday yang berhasil meraup miliaran rupiah menjadi suatu kebanggaan dalam negeri, seperti biasa hal tersebut turut menimbulkan permasalahan baru yaitu kekhawatiran akan keamanan digital nasional.
Satu kata yang menggambarkan karakter warganet nasional kita, yaitu ‘latah’. Bagaimana tidak? Kesuksesan Ghozali seolah menjadi kitab suci yang wajib diikuti jika ingin mencapai sukses di dunia digital. Nyatanya, tidak semua orang paham akan pentingnya keamanan dalam dunia digital.
Maraknya warganet yang menjadikan swafoto dirinya beserta dengan KTP yang diperjualbelikan di situs OpenSea menjadi bukti rendahnya kesadaran berdigital masyarakat Indonesia. Mereka tidak sadar, bahwa memperjualbelikan data pribadi adalah sebuah tindakan yang membahayakan keamanan diri.
Jika keamanan dalam dunia konvensional bisa diartikan sebagai rasa aman fisik dan mental kita dari ancaman yang membahayakan nyawa, keamanan dalam dunia digital berkembang menjadi sebuah hal yang lebih kompleks dari hal konvensional. Kompleksitas tersebut salah satunya bisa ditemukan dalam konsep “cyber security” atau keamanan siber.
Cyber Security (ITGID,2020) bisa didefinisikan sebagai sebuah bentuk pertahanan terhadap penggunaan data digital yang tidak sah hingga terindikasi mengarah pada perilaku kriminal. Karena tanpa disadari, “digital footprint” atau jejak digital milik kita yang tidak akan pernah lenyap di dunia digital bisa disalahgunakan kapan pun oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Data is the new oil,” menjadi term yang menggambarkan begitu berharganya sebuah data dalam dunia digital. Melalui data yang terkoleksi dengan rapi, seseorang bisa mendapatkan akses kemana pun. Namun mirisnya, melalui data yang tersebar secara luas dan disalahgunakan, orang lain bisa mengaku menjadi diri kita dan menggunakan data pribadi kita untuk melakukan aksi kriminal.
Mitigasi Kebocoran Data Pribadi
Literasi digital menjadi panduan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berselancar di dunia maya. Data yang dimuat dalam KTP adalah data pribadi karena memuat beberapa informasi seperti: nama lengkap, foto diri, NIK, alamat pribadi, tempat, tanggal lahir, hingga tanda tangan.
Jika informasi vital tersebut tersebar luas, bisa saja nama kita dicatut untuk akses perbankan, pinjaman online (pinjol), pengajuan kartu kredit, hingga pembobolan rekening pribadi. Berbagai kabar banyaknya kerugian yang dialami oleh korban penyalahgunaan data pribadi seharusnya menjadi alarm bagi kita akan pentingnya perlindungan data pribadi.
Selain rentan disalahgunakan, seseorang yang mengekspos bahkan menyalahgunakan data pribadi miliknya juga bisa terancam pidana. Hal tersebut diatur dalam Pasal 96 dan Pasal 96A UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Dalam peraturan tersebut, para pelaku terancam pidana paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp. 1 miliar.
Pemerintah melalui berbagai regulasinya, memang memberikan perlindungan secara formal dan legal atas data pribadi masyarakat. Namun sejatinya, masyarakat juga berperan untuk mencegah bobolnya data miliknya sendiri. Data pribadi bisa dibedakan menjadi dua jenis, yaitu data pribadi yang bersifat umum dan data pribadi yang bersifat spesifik.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang kini tengah dibahas oleh DPR menjelaskan jenis-jenis data pribadi yang tertera pada Pasal 3 Ayat (2) dan (3), sebagai berikut:
(a) Data pribadi yang bersifat umum, meliputi: (i) Nama lengkap, (ii) Jenis kelamin, (iii) Kewarganegaraan, (iv) Agama, dan (v) Data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.
(b) Data pribadi yang bersifat spesifik, meliputi: (i) Data biometric, (ii) Data genetika, (iii) Kehidupan/orientasi seksual, (iv) pandangan politik, (v) Catatan kejahatan, (vi) Data anak, dan (vii) Data keuangan pribadi.
Oleh karenanya, kita sebaiknya tidak asal mengunggah berbagai berkas yang berisi data pribadi di media sosial, seperti KTP, SIM, Rekam Medis, Paspor, SKCK, hingga rekening bank.
Data pribadi hanya cukup menjadi milik pribadi, jangan sampai disebarluaskan ke masyarakat umum hingga disalahgunakan secara tidak bertanggung jawab. Jangan sampai keteledoran dan minimnya pengetahuan akan dunia digital membawa petaka bagi diri sendiri.
Kita patut berterima kasih pada Ghozali Everyday. Ia melalui NFT-nya, secara tidak langsung turut mengedukasi kesadaran digital masyarakat Indonesia. Meskipun kita harus menelan pil pahit atas kelatahan warganet, masyarakat dan pemerintah secara kolektif bisa lebih tergugah akan pentingnya perlindungan data pribadi di dunia digital.
Penulis: Julian Savero Putra Soediro
Penyunting: Metha Silvia Ningrum dan Harry Sanjaya