MENGURANGI DIGITAL DIVIDE DI INDONESIA: MENGHINDARI ANCAMAN, MENINGKATKAN KESEMPATAN
Share :Perbedaan pengetahuan antar individu adalah suatu hal yang normal. Baik karena latar belakang ekonomi, pendidikan, ataupun lainnya, pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang bisa sangat berbeda dengan lainnya. Perbedaan pengetahuan tersebut dapat berdampak besar, meskipun tidak bersifat signifikan.
Di era perkembangan arus informasi yang sangat pesat ditambah dengan kemudahan jangkauan komunikasi berskala global, pengetahuan akan hal-hal yang bersifat digital menjadi krusial. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa secara umum masih terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal pengetahuan digital dimiliki masyarakat di seluruh Indonesia. Perbedaan akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi menjadi penyebab utama perbedaan tersebut. Kondisi ini dikenal dengan istilah digital divide (kesenjangan digital). Istilah ini dipopulerkan oleh Lloyd Morriset pada tahun 2001.
Digital divide adalah kondisi yang terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi di suatu wilayah. Kemudahan akses internet bagi masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dengan banyaknya ketersediaan fasilitas Wi-Fi gratis atau bisa dinikmati hanya dengan membayar segelas kopi, sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dengan akses internet yang sulit. Kondisi tersebut adalah salah satu contoh nyata dari kondisi digital divide di Indonesia.
Kondisi digital divide tidak hanya berpengaruh terhadap akses informasi untuk meningkatkan pengetahuan seperti keamanan digital, namun juga dapat menghambat kesempatan seorang individu untuk dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital di Indonesia yang menghasilkan US$77 miliar pada tahun 2022.
Apabila ditinjau dari segi usia, digital divide juga bisa disebabkan oleh perbedaan tingkat kedekatan sebuah generasi terhadap teknologi. Pada tahun 2001, Marc Pensky mengenalkan konsep digital natives (asli digital) dan digital immigrant (imigran digital) untuk membedakan tingkat kedekatan tersebut.
Digital natives ditujukan untuk individu yang tumbuh di era teknologi informasi sehingga memiliki kedekatan dengan komputer, internet, ponsel pintar, dan media sosial. Digital immigrant ditujukan untuk individu yang tidak tumbuh di era teknologi informasi sehingga harus beradaptasi dengan kehidupan digital.
Generasi Z (lahir 1997-2012), generasi alfa (lahir 2010an-2020an), dan beberapa kali disebutkan generasi milenial (lahir 1981-1996) termasuk dalam kelompok digital natives. Sedangkan, generasi X (lahir 1965-1980), generasi baby boomer (lahir 1946-1964), dan generasi sebelumnya masuk ke dalam kategori kelompok digital immigrant.
Dengan menggunakan klasifikasi di atas, digital immigrant sering menjadi korban persebaran isu yang mengancam keamanan digital seperti pencurian data sensitif melalui APK. Berdasarkan penelitian yang dirilis oleh Universitas Gadjah Mada mengenai penipuan digital di Indonesia, baby boomer menjadi generasi yang paling banyak merasakan penipuan digital dengan berbagai modus. Sebanyak 72,6% dari responden baby boomer dalam penelitian tersebut menyatakan pernah menjadi korban penipuan digital.
Tentu saja, mengurangi digital divide menjadi agenda yang harus diselesaikan untuk menghindari ancaman yang dapat muncul sekaligus memaksimalkan kesempatan untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi digital divide di Indonesia. Contohnya, Transformasi Digital: Melalui Rencana Strategis Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020-2024, program Transformasi Digital dilaksanakan untuk bisa menghubungkan yang tidak terhubung salah satunya dengan memastikan seluruh wilayah Indonesia tersedia layanan seluler 4G.
Selain itu, Pemerintah juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan digital divide. Salah satu contohnya, Telkom mengeluarkan program Smart Village Nusantara untuk mewujudkan potensi desa dalam membangun Indonesia sebagai tujuan akhirnya.
Walaupun begitu, langkah tercepat untuk mengurangi kesenjangan digital di Indonesia adalah dengan kontribusi kita semua. Banyaknya program yang tersedia untuk meningkatkan pengetahuan serta kemampuan digital individu seperti Digitalent dari Kemkominfo, webinar dari Diskominfotik Provinsi DKI Jakarta, serta gemar membaca berbagai artikel literasi digital seperti yang dirilis oleh Jalahoaks, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan digital individu. Tidak berhenti sampai disana, kita juga bisa melakukan hal-hal lainnya seperti:
-
Melaksanakan kampanye peningkatan kesadaran komunitas akan hal-hal digital;
-
Mengikuti kegiatan kerelawanan untuk membantu meningkatkan kemampuan literasi digital masyarakat di pedesaan atau lansia; dan
-
Berkontribusi dalam crowdfunding untuk membantu membiayai program yang dapat mengurangi digital divide dalam masyarakat.
Masih banyak ide lain yang dapat dilaksanakan untuk membantu mengurangi digital divide di Indonesia. Dengan banyaknya kontribusi dari berbagai kalangan masyarakat, akan memberikan dampak yang besar terhadap individu, komunitas, dan masyarakat yang masih merasakan dampak buruk digital divide. Yuk, bersama membangun dan tumbuhkan Indonesia digital kita!
Penulis: Rizaldy Febrian Azwar
Penyunting: Metha Silvia Ningrum dan Harry Sanjaya