SERUPA TAPI TAK SAMA: MISINFORMASI DAN DISINFORMASI

Share :        
Senin, 20 Jun 2022

Kini, perederan informasi sangatlah cepat. Bahkan, saking tidak terbendungnya arus informasi yang diterima, kita sering menjadi korban dari kabar bohong atau hoaks.

Hoaks kini sudah menjadi sebuah fenomena lumrah yang ditemukan dalam penyebaran informasi di internet baik melalui media sosial hingga media daring. Karenanya, selain berhati-hati untuk menerima informasi, pemahaman dasar tentang hoaks dan berbagai jenisnya kini perlu menjadi bekal bagi kita untuk berkomunikasi di internet.

Secara tidak sadar kita rentan menjadi penerima hoaks. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa hoaks adalah dampak dari cepatnya persebaran informasi di internet, namun hoaks sendiri memiliki kategorisasinya masing-masing. 

Beberapa di antaranya adalah Misinformasi dan Disinformasi, yang terkadang bisa ditafsirkan sebagai sebuah jenis informasi yang sama karena dasar nomenklatur, namun nyatanya memiliki arti yang berbeda. 

Kita bisa memahami beberapa jenis dari hoaks atau berita bohong yang beredar melalui dua kategorisasi tersebut. UNESCO menerbitkan karya berjudul Journalism, ‘Fake News’ & Disinformation (2019) yang mendefinisikan disinformasi sebagai sebuah kebohongan yang disengaja dan secara aktif diinformasikan oleh aktor jahat.

Kemudian secara sederhana, beberapa peneliti dalam The Debunking Handbook (2020) mendefinisikan misinformasi sebagai sebuah informasi yang disebarkan karena kesalahan atau tanpa maksud untuk menyesatkan. Melalui penjelasan tersebut, kita paham bahwa perbedaan mendasar antara disinformasi dan misinformasi adalah melalui unsur ‘kesengajaan’ sang penyebar informasi. 

Disinformasi secara sederhana adalah sebuah penyebaran informasi keliru yang disengaja. Artinya, sang komunikator memang sudah mengetahui bahwa pesan yang disampaikannya adalah salah, namun ia tetap menyebarkan kabar tersebut dengan motif tertentu. Sedangkan misinformasi, bisa dipahami secara sederhana sebagai informasi yang disebarkan oleh seorang komunikator, tanpa sebelumnya diketahui oleh komunikator bahwa pesan yang disampaikannya adalah keliru.

Penyebaran disinformasi dan misinformasi kini sudah menjadi perhatian para peneliti, terlebih di tengah banyaknya krisis berskala global. Menariknya, fenomena ini nyatanya sudah terjadi sangat lama dan bukanlah hal baru yang terjadi pada abad ke-21 saat pesatnya pertukaran informasi melalui internet.  

Brian Southwell, seorang peneliti sosial dan Direktur RTI International menekankan bahwa misinformasi dan disinformasi bisa terjadi kapan pun, bahkan bisa sering terjadi sebelum berkembangnya penyebaran informasi melalui internet.

Brian dalam bukunya, Misinformation and Mass Audiences (2018) menjelaskan suburnya penyebaran disinformasi dan misinformasi di masyarakat dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu 1) kurangnya akses akan sumber informasi yang valid, serta 2) masyarakat yang tengah cemas dan haus akan informasi.

Kondisi demikian sangatlah rentan menjadi ladang subur penyebaran misinformasi dan disinformasi. Terlebih, riuhnya disinformasi dan misinformasi bisa dimanfaatkan menjadi keuntungan pihak tertentu dengan motif materi hingga politis.  

Selain itu, Brian turut menjelaskan ciri-ciri dari informasi yang bisa menjadi sebuah misinformasi hingga disinformasi jika diteruskan adalah:
1. Terkesan utopis; 
2. Mudah memainkan subjektivitas;
3. Bisa menyebabkan perubahan emosi positif atau negatif secara drastis;
4. Tidak memiliki sumber valid serta data data terkini.

Karenanya, kita harus membudayakan untuk memeriksa berbagai jenis informasi yang kita terima. Bisa jadi, karena kurangnya pengetahuan, kita justru menjadi penyebar misinformasi. Jangan sampai kita menjadi agen penyebar hoaks tanpa disadari dan terkecoh karena ketidaktahuan kita akan jenis-jenis informasi yang beredar di internet. 

PenulisJulian Savero Putra Soediro
Penyunting: Metha Silvia Ningrum dan Harry Sanjaya

Artikel


Berita