ALASAN PSIKOLOGIS DI BALIK HOAKS
Share :Peredaran informasi yang masif di media sosial tidak dapat terbendung. Derasnya serbuan informasi justru menjadi penyebab mengapa otak kita cenderung sulit untuk memisahkan jenis informasi yang merupakan sebuah fakta atau rekayasa. Secara ilmiah, kita bisa mengetahui alasan psikologis mudahnya otak manusia untuk menerima informasi palsu atau hoaks.
Serbuan informasi yang sangat banyak akan membuat kita terkadang keliru dalam menilai sebuah informasi. Hal demikian adalah rahasia umum yang tidak disadari sering kita alami dalam menjalani hari.
Tom Peters dalam buku karangannya berjudul “Thriving on Chaos” (1991) menjelaskan, dengan berjalannya waktu informasi yang diterima manusia akan semakin banyak, namun sisi buruknya adalah manusia akan kekurangan dalam hal pengetahuan. Artinya, peredaran informasi yang tidak terkendali justru akan berbahaya jika diterima secara mentah oleh individu dengan pengetahuan yang rendah.
Dari hasil sebuah penelitian tahun 2019 oleh University of California-San Diego, Amerika Serikat, manusia diperkirakan menerima 105.000 kalimat tiap harinya yang berasal dari berbagai sarana informasi, baik melalui ponsel, televisi, koran, radio, buku, dan internet.
Dalam penelitian yang sama, diketahui kapasitas otak manusia ketika menerima informasi paling banyak adalah sebanyak 34 Gigabytes per hari. Namun, sejauh apa kapasitas otak manusia untuk menerima informasi?
Psikolog dari Northwestern University, Paul Reber menjelaskan bahwa manusia memiliki hampir 1 miliar saraf di otak. Dari banyaknya saraf yang terhubung di otak kita, diperkirakan kapasitas penyimpanan otak manusia adalah 2,5 Petabytes. Kapasitas yang sangat besar untuk setidaknya menonton video di Youtube selama 3 juta jam tanpa henti.
Bertambahnya usia seseorang dan banyaknya informasi yang diperoleh, berakibat pada kemampuan mengingat manusia yang akan melemah. Secara psikologis istilah itu dikenal dengan “transience.” Saat kemampuan mengingat semakin menurun, maka kemampuan untuk menyebarkan informasi yang terpercaya akan terdistorsi karena banyaknya informasi.
Berlimpahnya informasi yang diterima oleh otak manusia juga berdampak pada kemampuan manusia untuk menyebarkan informasi secara jangka pendek. Terdapat istilah “misattribution” dalam psikologis, yaitu saat kita cenderung lupa untuk mengingat sumber informasi hingga salah menafsirkan informasi yang baru saja dibaca.
Fenomena psikologis seperti “misattribution” bisa saja terjadi tanpa kita sadari dan berpotensi untuk menjadi rangkaian informasi bohong atau disinformasi jika diteruskan. Terlebih, jika kita menerima informasi secara berulang-ulang maka potongan informasi tersebut akan menjelma menjadi informasi palsu yang tampak benar.
Terbatasnya kemampuan manusia untuk mengolah informasi bisa berakibat fatal. Salah satu efek dari fenomena psikologis tersebut adalah informasi palsu atau hoaks yang secara tidak sadar disebarkan oleh diri kita sendiri.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita lakukan sebagai individu atau masyarakat untuk terhindar dari jebakan efek psikologis. Berbagai upaya, seperti memperkaya pengetahuan, membatasi intensitas penerimaan informasi, dan biasakan diri melakukan “double-check” untuk memeriksa keaslian informasi, bisa menjadi langkah paling sederhana yang dimulai dari diri sendiri untuk mencegah penyebarluasan hoaks.
Kapasitas otak manusia memang luar biasa, namun bukan berarti luput dari kesalahan. Sebagai individu kita turut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang kita sampaikan. Selain itu, kita juga berhak untuk mempertanyakan segala informasi yang kita terima.
Jangan sampai, keterbatasan pikiran kita membawa akibat fatal bagi peredaran informasi di masyarakat, baik secara digital atau pun konvensional.