EVERYBODY LIES: SAAT KITA BERBOHONG DI MEDIA SOSIAL

Share :        
Selasa, 24 Mei 2022

Pesatnya perkembangan internet di Indonesia sangat memengaruhi interaksi kita sehari-hari, salah satunya interaksi di dunia maya. Pengguna internet di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data We Are Social pada 2021, tercatat total pengguna internet republik ini sebesar 73,7% dari populasi nasional, atau 202,6 juta pengguna. 

Selain itu, angka pengguna media sosial di Indonesia tidaklah kurang dari 100 juta jiwa. Sumber yang sama menyebutkan bahwa total pengguna media sosial di Indonesia adalah 170 juta pengguna, atau 61,8% dari populasi penduduk keseluruhan. 

Data tersebut seolah memberikan kita potret bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sudah beralih dalam pola interaksi. Sebelum mayoritas dari kita menggunakan media sosial, kita terbiasa untuk berinteraksi secara langsung. Hal tersebut berubah drastis, saat ternyata sebagian besar dari kita terlihat nyaman untuk berinteraksi melalui media sosial dan semakin jarang berinteraksi secara langsung. 

Interaksi media sosial dan konvensional tidaklah jauh berbeda. Setidaknya, kita semua mungkin pernah sekali, atau dua kali berbohong dalam berkata-kata. Sikap berbohong tersebut, bahkan secara kita tidak sadari semakin sering kita lakukan di media sosial. 

Melalui sebuah buku karangan Seth Stephens-Davidowitz, dalam bukunya Everybody Lies (2017), manusia ternyata cenderung lebih sering berbohong di media sosial. Menariknya, sikap manusia di tiap platform internet ternyata berbeda. Saat dihadapkan dengan search engine atau mesin pencari, kita akan mencari sesuatu dengan lugas tanpa memperhatikan etika atau moral.

Misalnya, kita akan bebas untuk mengetik kalimat ‘cara mengobati wasir’ di mesin pencari, namun tentu kita tidak akan mengetikkan kalimat ‘wasir’ sebisa mungkin saat berada di media sosial. Kita tidak akan memberitahu publik bahwa sebenarnya sedang menderita penyakit wasir. 

Oleh karena itu, salah satu cara untuk mengenali seseorang di dunia digital justru bukanlah melalui akun media sosial milik orang tersebut, melainkan melalui histori dari mesin pencari miliknya. Seseorang bisa saja terlihat ramah, anggun, dan sopan melalui unggahan media sosial miliknya, namun ternyata adalah orang yang paling galak di lingkungan dilihat melalui histori mesin pencarinya.
 
Mesin pencari seolah menjadi bank aib bagi diri kita dan media sosial menjelma bak kontes kecantikan bagi manusia. Kita, yang mungkin tanpa kita sadari tentu berusaha untuk menampilkan sisi terbaik dari diri kita di media sosial, bisa berekspresi sebebas mungkin di mesin pencari.

Dua sisi yang berbeda tersebut memang sudah menjadi rahasia umum tiap orang. Namun, tidak semua dari kita yang memahami bahwa hal demikian adalah sebuah fakta yang tercipta seiring dengan interaksi manusia di dunia digital.

Karenanya, peredaran informasi di media sosial seharusnya dicermati dengan seksama. Karena bisa saja apa yang tampak baik di media sosial hanyalah rekayasa. Terlebih dengan maraknya peredaran informasi hoaks yang tidak hanya dapat merugikan diri sendiri, namun juga bisa merugikan orang banyak dan jagat dunia digital Indonesia.

 


Penulis: Julian Savero Putra Soediro
Penyunting: Metha Silvianingrum dan Harry Sanjaya

Artikel


Berita