JALAHOAKS HADIRI SEMINAR PUBLIK UNTUK HADANG HOAKS JELANG PEMILU 2024
Share :
Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) pada tahun 2024. Pesta demokrasi yang diadakan setiap 5 tahun sekali, akan dilaksanakan secara serentak pada tahun depan. Skala kegiatan yang besar tentu saja membutuhkan persiapan yang matang, fokus pelaksanaan yang tinggi dibutuhkan untuk menyukseskan kegiatan tersebut. Tentu saja, tantangan dalam pelaksanaan pasti akan ada.
Salah satu tantangan yang harus diantisipasi untuk Pemilu tahun depan adalah penyebaran hoaks seputar Pemilu. Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (DPW SPRI) DKI Jakarta menyelenggarakan Seminar Publik dengan judul “Menghadang Mis/ Disinformasi Menjelang Pemilu 2024” pada 15 April 2023, sebagai tindakan untuk menghindari ancaman besar yang dapat ditimbulkan oleh hoaks seputar Pemilu. Seminar kali ini dilaksanakan di Hotel Millenium, Jakarta Pusat dan dihadiri oleh 100 peserta dari berbagai badan serta komunitas seperti ojek online, buruh, dan sebagainya.
Acara dibuka langsung oleh Sekretaris Nasional SPRI, Dika Moehammad. Dalam sambutannya, Beliau menyampaikan bahwa acara ini bertujuan untuk memberi edukasi serta sosialisasi untuk bisa bersama-sama mengawasi serta menghadapi misinformasi dan disinformasi terutama menjelang tahun politik.
Tujuan dari penyebaran hoaks pada masa pemilu adalah untuk mengontrol atau mengulik emosi calon pemilih sehingga jauh dari pemikiran kritis. Beliau menegaskan bahwa hal yang harus diadu dalam masa pemilu adalah adu program kerja yang akan diusulkan oleh calon yang berkontestasi dalam pemilu nantinya, bukan hal lain yang bersifat emosional.
Materi pertama disampaikan oleh perwakilan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi DKI Jakarta, Mahyudin S.H, M.H. Beliau menyampaikan bahwa Jakarta memiliki Indeks Kerawanan Pemilu paling tinggi di Indonesia pada angka 88,89%. Sebagai bentuk usaha menyelesaikan permasalahan ini, Bawaslu mengeluarkan aplikasi ‘Jarimu Awasi Pemilu,’ yang bertujuan mengajak masyarakat agar dapat bergabung dalam komunitas digital untuk menciptakan demokrasi yang sehat. Di atas itu semua, aplikasi tersebut diharapkan dapat mempercepat penyebaran informasi yang telah diverifikasi dalam masyarakat.
Penyampaian materi dilanjutkan oleh perwakilan dari tim Jalahoaks, Muhammad Khairil Haesy. Materi dibuka dengan informasi mengenai ranking literasi digital negara Indonesia yang berada pada posisi 63. Hal ini menunjukkan, masyarakat Indonesia masih sulit untuk membedakan informasi yang benar atau informasi yang salah.
Judul yang bombastis, ajakan untuk menyebarkan kembali informasi yang diterima, dan tidak menyertakan sumber informasi adalah beberapa ciri-ciri Hoaks. Selain itu, hoaks juga dapat terjadi karena adanya distorsi informasi. Jenis distorsi informasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori:
• Misinformasi (Informasi salah, namun pengirim percaya benar)
• Disinformasi (Informasi salah, namun pengirim percaya benar secara tidak sengaja)
• Malinformasi (Informasi yang memiliki cukup kebenaran namun dikemas sedemikian rupa untuk merugikan orang lain)
Tentu saja, hoaks dapat disebarkan untuk berbagai alasan yang berbeda-beda. Baik untuk iseng hingga untuk mendapatkan keuntungan ekonomi atau politik, dampak besar dapat terjadi karena adanya penyebaran hoaks dalam masyarakat. Perpecahan, ketakutan, sulit percaya, hingga korban jiwa dapat terjadi karena penyebaran hoaks.
Salah satu contohnya adalah seseorang yang berniat untuk berbuat baik dengan memberikan permen pada anak kecil ketika sedang di jalan, dapat menjadi korban jiwa karena pada saat itu ada seorang warga yang mengambil foto lalu orang tersebut dituduh sebagai penculik hanya karena memberi permen. Setelah itu, orang tersebut dihakimi oleh warga hingga meninggal walaupun ternyata dia tidak memiliki niatan untuk menculik anak tersebut.
Ketika kita menarik potensi bahaya dari penyebaran hoaks dalam konteks pemilu, tidak hanya menimbulkan perpecahan dalam masyarakat, dampak yang lebih besar dapat terjadi. Jika kita melihat contoh yang pernah terjadi di luar negeri, penyebaran hoaks yang cukup masif dari pemilihan umum Amerika Serikat pada tahun 2020 menyebabkan perpecahan dalam masyarakat hingga jatuh korban jiwa karena penyerangan Capitol pada 6 Januari 2021.
Jumlah hoaks mengenai Pemilu 2019 yang tersebar sebanyak 226 hoaks. Dimana 113 hoaks menyerang kubu Jokowi-Maruf, dan 93 menyerang kubu Prabowo-Sandi. Pada Pemilu 2024, diprediksi jumlah hoaks yang akan tersebar akan lebih tinggi.
Pemateri ketiga, Yani Sundaya, menekankan untuk berhati-hati membuat konten di media sosial, karena ketika telah diunggah maka rekam jejak digital bisa bertahan selamanya.
Rio Ayudhia Putra, selaku Sekretaris Wilayah DPW SPRI DKI Jakarta, menutup serangkaian penyampaian materi dengan menyampaikan bahwa pelaku Mis/ Disinformasi adalah masyarakat yang memiliki kemampuan literasi digital rendah. Rakyat miskin adalah kelompok masyrakat yang paling sering menjadi korban serta pelaku penyebaran hoaks.
Oleh karena itu, dengan mengembangkan komunitas digital maupun non-digital, usaha menghadang hoaks untuk menyukseskan Pemilu tahun 2024 menjadi esensial, agar masyarakat dapat memilih dengan lebih objektif melalui penilaian program kerja calon, bukan karena informasi hoaks yang bersifat emosional dan memihak calon tertentu.
Mari berkolaborasi untuk perangi hoaks dan sukseskan Pemilu 2024!