LABELING NEGATIF TOKOH PUBLIK UNTUK PENYEBARAN HOAKS

Share :        
Senin, 15 Apr 2024

Perlu kita ketahui bahwa media sosial (medsos) memiliki jutaan pengguna dengan preferensi yang sangat bervariasi, maka dari itu banyak sekali jenis konten yang beredar di sosial media. Algoritma media sosial pun berperan dalam memfilter jutaan konten yang tersebar. Selain itu, algoritma juga berfungsi dengan memberikan konten yang diinginkan pengguna karena algoritma menjangkau audience yang cukup luas.

Cara kerja algoritma sebenarnya cukup simpel, salah satunya adalah engagement rate atau konten yang sering diberikan komentar, like, dan share oleh pengguna. Hal itu akan sering ditampilkan di halaman rekomendasi medsos, begitu juga dengan konten yang memiliki tema yang sama dengan unggahan tersebut. Dengan adanya algoritma, pengguna media sosial tak bisa memilih informasi yang diterimanya dan rentan terpapar hoaks.

Adanya media sosial juga menciptakan ladang rezeki bagi tokoh publik, karena endorsement di kalangan tokoh publik sangat berpengaruh terhadap minat beli konsumen pada produk yang dipromosikan. Strategi marketing yang tepat, memberi kesuksesan terhadap jalan promosi produk.

 

CONTOH KASUS HOAKS TERHADAP TOKOH PUBLIK

Baru-baru ini sosial media khususnya platform Facebook, sedang digegerkan dengan beredarnya berita bohong atau hoaks yang menyeret Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, dr. Terawan Agus Putranto, yang diklaim mempromosikan obat pereda nyeri sendi. Dalam gambar yang diunggah di salah satu akun Facebook, dr. Terawan terlihat menggunakan seragam TNI, sambil memperlihatkan sebuah layar ponsel. Adapun, gambar tersebut juga menyematkan sebuah obat salep yang diklaim dapat menyembuhkan nyeri sendi.

Berita bohong tersebut dengan mudah beredar luas di berbagai platform media sosial dan diyakini oleh beberapa orang sebagai “berita benar,” hanya karena latar belakang tokoh publik yang menyandang gelar dokter. Masyarakat yang terpengaruh hoaks seperti ini biasanya memiliki keterbatasan pengetahuan, sehingga cenderung mudah percaya.

Selain itu, ada kasus hoaks mengenai salah satu tokoh publik terkenal yakni Raffi Ahmad, terkait kasus pencucian uang yang menurunkan citranya, lantaran kasus ini cukup heboh lalu terbukti tidak benar. Netizen pun ramai menuduh publik figur tersebut, padahal disebar oleh para oknum tidak bertanggung jawab dan beritanya pun belum diketahui kebenarannya. Lantas, mengapa masyarakat dengan mudahnya termakan isu hoaks di sosial media yang melibatkan tokoh publik atau publik figur?

Tokoh publik merupakan sasaran empuk yang dijadikan pelaku penyebaran hoaks sebagai wadah dan sarana mereka dalam menyebarkan informasi palsu kepada masyarakat, khususnya di berbagai platform media sosial dengan maksud untuk menurunkan citra serta kepercayaan tokoh publik di mata masyarakat. Maka tak jarang banyak tokoh publik terlibat kasus berita bohong di kalangan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan tokoh publik memiliki pengaruh seperti peran dalam memberikan tolak ukur di dalam berbagai bidang.

Netizen pun cenderung terdorong untuk mengikuti kebiasaan atau standar yang dilakukan oleh masyarakat banyak. Standar ini yang menjadi penyebab munculnya netizen Fomo (Fear Of Missing Out), dimana sifat individu akan merasa takut serta cemas tertinggal jika tidak melakukan sesuatu yang orang lain banyak lakukan. Fomo juga menjadi satu di antara alasan lainnya yang menyebabkan netizen tergila-gila dengan tren yang ada di media sosial, termasuk lemahnya kesadaran terhadap adanya berita bohong, yang mereka sebarkan karena Fomo.

 

ALASAN NETIZEN MENYUKAI BERITA HOAKS YANG MELIBATKAN TOKOH PUBLIK

Sebenarnya, wajar saja jika seseorang menyukai dan merasa nyaman mendengar berita yang ingin mereka dengar, apalagi jika berita tersebut sesuai dengan harapannya. Hal tersebut juga menjadi salah satu alasan mengapa netizen dengan mudahnya mempercayai berita hoaks yang melibatkan tokoh publik, entah itu tokoh publik yang mereka senangi atau sebaliknya. Berita hoaks tersebut juga bisa mempengaruhi emosi dan mental pembaca, maka tak heran apabila ada tokoh publik yang terseret kasus hoaks mengalami gangguan kesehatan mental.

Namun demikian, tidak semua orang merasakan perasaan yang sama dengan apa yang diinginkan orang lain. Perbedaan itulah yang mendatangkan masalah di kemudian hari, bahkan bisa juga merugikan orang lain. Tak sedikit juga berita hoaks yang melabeli, mengaitkan, ataupun menyeret tokoh publik dan hal itu mampu merusak nama baik serta menurunkan popularitas mereka di mata publik. Berikut beberapa alasan lain mengapa banyak netizen lebih menyukai berita hoaks yang melibatkan tokoh publik: 

  1. Lebih senang mendengar berita yang diinginkan, apalagi berita yang mengaitkan tokoh publik yang tidak mereka sukai. Jika seseorang itu sudah tidak menyukai tokoh publik tertentu maka mereka akan memiliki opini yang kuat terhadap berita tersebut dan dengan nyaman mengafirmasi sikap atau opini, meskipun kebenarannya belum terbukti;

  2. Merasa memiliki pandangan yang paling benar. Penyebaran hoaks akan dengan mudahnya berkembang karena penyebar itu berpikir opini serta sikap mereka yang paling benar dan akurat, kondisi ini juga dikenal sebagai realisme naif. Mereka yang merasa paling benar akan terbiasa mengabaikan pandangan yang benar;

  3. Terbatasnya pengetahuan dan minim literasi. Mereka yang mudahnya percaya terhadap berita yang muncul meskipun itu berita hoaks, bisa disebabkan karena pengetahuan mereka yang minim terhadap objek kebenaran berita.

 

PENTINGNYA PENGUATAN DIGITAL SAFETY PADA NETIZEN

 

Digital safety adalah salah satu pilar dari adanya literasi digital. Digital safety atau disebut sebagai keamanan digital adalah upaya atau aktivitas yang mempunyai tujuan untuk mengamankan kegiatan-kegiatan berbau digital. Aset digital yang kita miliki juga penting untuk dijaga, sebab di dalam berkegiatan digital terdapat pemahaman mengenai keamanan digital dalam menelusuri serta mengakses informasi-informasi yang ada di internet. Semakin maraknya masyarakat beraktivitas di ranah daring, maka semakin marak juga informasi palsu beredar dengan mudah. Oleh karenanya, literasi digital dan keamanan digital perlu ditingkatkan untuk mengidentifikasi penyebaran hoaks dan berbagai kejahatan siber. 

Artikel


Berita