MEME JUGA BISA MENJADI LAHAN PENYEBARAN MISINFORMASI
Share :Jika kita bermain sosial media seperti Facebook, Instagram, hingga Twitter, tidak jarang kita menemukan adanya sebuah gambar sederhana yang disisipkan tulisan pada bagian atas atau bawah gambar tersebut.
Gambar dengan tulisan sederhana itulah yang disebut dengan Meme. Kini, meme menjadi sebuah tren dalam berinteraksi di dunia digital, khususnya media sosial. Saking populernya, kini banyak versi menjelaskan tentang apa itu meme hingga asal-usul dari meme.
Mengutip definisi dari Merriam Webster, meme didefinisikan sebagai sebuah objek yang menyenangkan dan menarik, atau sebuah aliran yang tersebar secara luas khususnya melalui media sosial. Meme juga bisa diartikan sebagai sebuah gagasan, perilaku, cara, atau penggunaan yang tersebar dari individu ke individu dalam budaya yang sama.
Beberapa poin besar yang mewakili definisi dari meme yaitu, cepat, media sosial, dan budaya. Melihat banyaknya meme yang beredar di media sosial, tidaklah berlebihan untuk dikatakan meme kini menjadi sebuah budaya baru dalam berbagi informasi, khususnya bagi kalangan muda seperti Millenial dan Gen-Z.
Beberapa meme sering memuat informasi jenaka yang mengundang tawa dan tidak luput menjadi cara untuk mengampanyekan berbagai tujuan, seperti cara pemasaran produk, kampanye politik, dan yang terbaru secara tidak disadari menjadi alat penyebaran misinformasi.
Melansir dari Poynter (16/03/2022), ada beberapa penyebab yang menjadikan meme sangat mudah untuk tersebar di media sosial, yaitu:
· Mudah untuk dibuat/ diproduksi
Tidak membutuhkan kemampuan penyuntingan khusus untuk bisa membuat meme. Kita hanya tinggal memilih gambar dan menyisipkan beberapa kalimat untuk membuatnya.
· Mudah untuk dipahami
Meme biasa digunakan untuk merespons sebuah isu populer dan tidak menggunakan basis pengetahuan tertentu dalam penyebarannya. Karena mudah untuk dipahami, kita terpancing untuk menyebarkannya ke media sosial ataupun orang terdekat.
· Menarik berbagai kalangan
Tidak melihat latar belakang pendidikan, status sosial, gender, hingga usia. Semua orang mudah untuk memahami pesan yang disampaikan oleh sebuah meme.
Karena pesan yang disampaikan dalam sebuah meme begitu sederhana dan mudah dipahami, kini meme menjadi cara termudah untuk merespons dan mengomentari kejadian tertentu, khususnya dalam budaya populer/ pop culture.
Di balik segudang kemudahan penyebaran informasi yang ditawarkan melalui meme, ia juga bisa menjadi senjata penyebaran hoaks yang sangat efektif. Sebagai contoh, ada sebuah meme yang beredar di Grup Facebook di awal Januari 2022 berisi pesan bahwa kasus infeksi Covid-19 kini lebih tinggi dibandingkan saat sebelum program vaksinasi dimulai. Jika dipahami secara sederhana, maka asumsi publik akan mengarah pada pesan bahwa vaksinasi justru memperparah kasus Covid-19. Saat ditelusuri, sebagian informasi dari meme tersebut adalah benar, namun sebagian lainnya keliru. Adalah hal yang benar bahwa kasus Covid-19 di Amerika Serikat memang meningkat, tapi hal tersebut tidaklah diakibatkan karena penyuntikan vaksin Covid-19.
Meme tidak memiliki konteks yang jelas dan sangatlah bias sehingga mudah diplesetkan dan menjadi sumber hoaks. Selain bisa menyebarkan misinformasi, meme juga ternyata bisa menjadi alat yang sangat ampuh digunakan organisasi radikal untuk merekrut generasi muda. Melansir Washington Post (30/04/2021), kini organisasi ekstrem atau radikal kerap menggunakan meme sebagai alat kampanye.
Pada aksi penggerudukan Capitol di Washington D.C pada pertegahan April 2021 lalu, organisasi ekstrem diketahui menggunakan metode rekrutmen yang canggih. Mereka menyebarluaskan propaganda menggunakan meme melalui berbagai forum di video game, hingga media sosial. Hasilnya, sekitar 2.000-2.500 massa berhasil terkumpul dan menyerbu Ibu Kota Negara dari Amerika Serikat untuk tujuan politis. Kejadian ini adalah satu dari sebagian banyak sisi negatif dari meme, yang sejauh ini diketahui juga digunakan sebagai metode rekrutmen organisasi radikal di berbagai dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Perkembangan meme tidak bisa kita anggap enteng. Bahkan dalam salah satu bagian dari Military Intelligence Professional Bulletin oleh Brian J. Hancock (2010) sudah terdapat sebuah istilah “Memetic Warfare” yang memprediksi akan terjadinya pergeseran perang menjadi di dunia informasi, saat terjadi peperangan gagasan melalui meme di internet pada masa depan.
Meme sering kali dianggap hanya sebagai sebuah gurauan jenaka, namun jika disalahartikan bisa menjadi bumerang yang menyesatkan. Titik krusial dari meme adalah ia tidak memiliki konteks yang jelas, sehingga dibutuhkan pemahaman akan sebuah isu terlebih dahulu sebelum kita menganggap meme sebagai gurauan dan terlanjur menyebarkannya ke berbagai kanal media sosial kita.
Dengan memperkaya literasi akan isu populer, baik itu yang berhubungan dengan politik hingga hiburan, kita bisa menjadikan meme sebagai hiburan melalui pesan gurauan, bukan justru menjadi alat penyebarluasan hoaks yang menyesatkan.
Penulis: Julian Savero Putra Soediro
Penyunting: Metha Silvia Ningrum dan Harry Sanjaya