SADAR KONTEN DIGITAL RAMAH ANAK, DISKOMINFOTIK GELAR WEBINAR JAKARTA SOLID (SADAR OLAH LITERASI DIGITAL) KE-4
Share :Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi DKI Jakarta kembali menyelenggarakan rangkaian acara “Jakarta SOLID (Sadar Olah Literasi Digital) bersama JakWifi” yang ke-4 pada Kamis (18/07/2023). Diskominfotik Provinsi DKI Jakarta menggelar webinar bertema “Konten Digital Ramah untuk Anak” sebagai bentuk respon atas tingginya intensitas penggunaan media digital oleh anak.
Pada tahun 2022 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data mengenai penetrasi internet Indonesia. Berdasarkan dari usia, kelompok anak-anak yang berusia 5-12 tahun memiliki penetrasi internet sebesar 62,43%. Mayoritas anak usia 5 tahun ke atas di Indonesia sudah pernah menggunakan internet untuk mengakses media sosial, dibandingkan untuk tujuan yang lainnya.
Seperti yang telah banyak dibahas sebelumnya, sistem yang digunakan media sosial pada umumnya dapat berpotensi untuk memberi dampak buruk, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Oleh karena itu, penggunaan media sosial oleh anak membutuhkan pengawasan yang cerdas dari orang tua.
Narasumber yang hadir pada webinar kali ini adalah praktisi di bidang yang berhubungan dengan anak-anak. Afriyani Rahmawati yang merupakan Partnership Coordinator and Facilitator Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA) hadir sebagai narasumber pertama. Yayasan SEJIWA adalah organisasi yang berfokus pada perlindungan anak, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Selanjutnya, narasumber kedua adalah Helena Safitri, yang bergiat sebagai Parenting Blogger dan telah memiliki banyak tulisan di situs besar, salah satunya Kumparan.
Afriyani Rahmawati selaku pemateri pertama, membuka materi dengan menyampaikan penemuan mengejutkan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menyebutkan 66,6% anak laki-laki dan 63,2% anak perempuan pernah melihat atau mengakses konten-konten yang bersifat pornografi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengawasan yang cerdas dari orang tua dibutuhkan untuk memberi filter terhadap anak-anak ketika menggunakan media sosial. Pendampingan orang tua dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
-
Menyepakati batasan waktu dalam mengakses konten digital;
-
Berdiskusi mengenai konten yang boleh/ tidak boleh ditonton;
-
Mengajak anak melakukan aktivitas digital maupun non-digital yang menyenangkan bersama-sama;
-
Memasang aplikasi parental control pada gawai yang akan digunakan oleh anak.
Pembatasan waktu penggunaan gawai untuk mengakses konten digital pada anak, secara ideal telah diatur oleh WHO. Walaupun begitu, masih menjadi tantangan tersendiri untuk memberi batasan kepada anak-anak ketika menggunakan gawai, apalagi saat ini proses belajar-mengajar telah terintegrasi dengan dunia digital secara mendalam.
Tetapi, usaha untuk mengawasi serta membatasi penggunaan gawai tetap perlu dilakukan agar anak terhindar dari dampak-dampak buruk seperti:
Cyberbullying: Perundungan pada seseorang melalui media-media digital
Grooming online: Menjalin hubungan untuk memenuhi kebutuhan seksual
Sexting: Saling mengirim pesan yang mengandung unsur seksual dalam bentuk kata, gambar, bahkan video
Banyak pendekatan yang dapat diterapkan agar implementasi pembatasan media digital pada anak dapat diwujudkan. Salah satunya adalah dengan metode 3S (Screen Time, Screen Zone, Screen Break). Dimana, penggunaan gawai oleh anak-anak diberi batasan waktu, penggunaan gawai oleh anak-anak di ruangan tertentu dibatasi, serta memberi instruksi pada anak-anak untuk mengambil istirahat di tengah-tengah menggunakan gawai.
Pembicara kedua, Helena Safitri membuka materi dengan menyampaikan analogi ikan goreng. Ketika seorang anak menyukai ikan, penting untuk orang tua untuk memisahkan duri atau tulang ikan sebelum dikonsumsi oleh anak tersebut. Sama halnya dengan gawai, orang tua masih perlu memisahkan "duri" dari gawai yang berbahaya bagi anak-anak.
Helena juga melengkapi materi mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan ketika orang tua memilah konten untuk anak. Seperti contohnya, film kartun atau video beranimasi tidak selamanya ditujukan untuk anak-anak. Banyak sekali konten di media sosial seperti Youtube yang membuat video animasi, tetapi isi atau substansi dari video tersebut cenderung sangat dewasa.
Selain itu, ketika orang tua memberikan perintah pada anak, misal untuk membatasi penggunaan gawai, maka teladan yang baik perlu diberikan. Helena menyampaikan bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung, maka ketika orang tua memberi perintah namun tidak menerapkan apa yang diperintahkan, anak-anak dapat melakukan protes atau bahkan mengabaikan perintah tersebut begitu saja.
Materi ditutup dengan closing statement “Internet hanyalah sebuah alat.” Sama seperti alat lain pada umumnya, meskipun internet dapat membantu kehidupan seseorang (termasuk anak-anak), tetapi internet juga dapat memperburuk kehidupan apabila penggunaannya tidak sesuai.
Sudah menjadi tugas wajib bagi orang tua untuk memberikan arahan pada anak-anak agar tidak tersesat ketika menggunakan internet. Arahkan anak agar bisa memanfaatkan internet sebagai alat yang dapat mendorong tidak hanya perkembangan diri, tetapi perkembangan lingkungan sekitar, atau bahkan negara.
Ruang digital kita, ruang aman kita.